Transaksional Kapitalistik Di Dalam Politik : Realita atau Konspirasi Belaka?


Persoalan politik di kabupaten Agam memang sedikit unik. Sentimen kawasan hingga persoalan ekonomi yang berpunca dari prahara emas hitam serta persoalan Maninjau yang seolah tiada akhir menjadikan Agam sebagai daerah yang katanya memiliki karakteristik keras, tegas, dan tidak bisa diajak kompromi, menjadi tak berdaya dengan prahara yang ada saat ini.
Seketika saya teringat dengan tulisan M Alfan Alfian , Dosen FISIP UNAS, Jakarta tentang “demokrasi tak gendong” yang dimuat di ANTARA (5/8/2009). Dalam pemaparannya, demokrasi tak gendong ini bermakna para pemimpin yang dipilih itu sejatinya hadir karena “digendong” oleh rakyat, untuk dititipkan amanat demokrasi dalam “gendongan” mereka. Jadi, yang didalam gendongan, jangan saling berebut tempat, apalagi terlibat keributan karena permasalahan pribadi (tak diri lah sikit!).
Saya  hendak menarik sebuah pemahaman mengenai demokrasi tak gendong ini  dengan menempatkannya pada persoalan kesepakatan tranformasional di dalam koalisi (tak usah kusebutkan transaksional ya, hehe). Ada partai dengan komposisi besar, namun belum mencukupi kualifikasi untuk bertarung sehingga perlu “menggendong” partai lain demi memenuhi keinginan untuk bertarung. Nah, sebab permasalahan gendong menggendong ini tidak jauh dari urusan manja-memanjakan, maka sudilah yang besar itu untuk lebih bersahaja, turunkan ego, dan singkirkan persoalan yang akan merusak tujuan bersama yang hendak dicapai.
Lebih lanjut, Buya Syafii Ma’arif juga pernah menyebutkan tentang istilah “ demokrasi perut”, yang menjelaskan tentang bagaimana gejala pragmatism-transaksional dalam politik Indonesia sudah sedemikian merajalela. Hal yang lumrah sepertinya, dan bahkan tanpa praktik yang demikian, bukan politik namanya. Mending kembali ke kelas, kemudian buat paper tentang fenomena politik dengan merunut pada teori-teori yang ada, setelah itu publis di ajang “kapitalistik akademik” di scopus (aw!)
Sepertinya, apa yang disebutkan tentang “transaksional kapitalistik” itu memang sudah  menjadi hal yang lumrah, tidak perlu diributkan, apalagi bertegang urat leher dengan mengedepankan idealism-idealisme yang tak ubahnya hanyalah pemanis cerita saja. Jangan berbicara terlalu lantang tentang “ politik transformasional”, penguatan structural-kultural, namun pada kenyatannya itu hanya transaksi belaka.
Bukankah selama ini sudah ada narasi yang demikian, tetapi situasi yang sebenarnya malah membenarkan apa yang disebutkan oleh Alm. Gusdur “ Lain yang dikatakan, lain pula yang dikerjakan”. Alih-alih ingin memperkuat masyarakat secara structural dan kultural, namun kenyataan yang dilakukannya adalah merusak seluruh tatanan itu.

Ah sudahlah, mari bernyanyi saja “ TAK GENDONG.. KEMANA-MANA…TAK GENDONG KEMANA-MANA”

Komentar

Postingan Populer