Renungan Bersama Aku


Beginilah kenyataan yang ku alami, puan. Hidup dalam tekanan dan kau menjadi penyebab dari semua ini!

bukan dia penyebabnya, melainkan dirimu yang terlalu bodoh dan masih enggan untuk berifikir dengan benar!

Nah, begitulah. Ketika aku ingin menyalahkanmu, maka sisi lain dari diriku langsung bersuara dan dengan lantangnya mengembalikan semua kesalahan itu kepadaku. Dan parahnya, aku diejek dengan kata “bodoh” serta dianggap sebagai orang yang tidak benar dalam menggunakan akal.

Ingatanku masih cukup kuat jika diminta untuk menceritakan bagaimana kisahku denganmu. Tentang bagaimana aku kita dipertemukan dulu dan mengenai seluk beluk percintaan kita hingga kau pergi meninggalkanku dengan seribu, eh mungkin sejuta tanda tanya yang membuat hidupku dilanda kebingungan dan belakangan menjadi semakin tertekan karena akhir-akhir ini kau amat sering muncul di dalam ingatanku.

Dalam ingatanku, pertemuan kita di kota hujannya Ranah Minang menjadi hal terindah di dalam hidupku. Meskipun keindahan itu baru kusadari lima bulan setelahnya. Ketika aku telah merasakan tentang betapa indahnya pertemuan itu, maka aku mulai merangkai segala bentuk romantika alam yang ada di sekitar kota itu. Aku menganggap mengapa kota itu bisa menjadi tempat bertemunya kita dan kemudian terjalin suatu tautan perasaan yang mendalam, itu semata karena kota itu berada di antara Marapi dan Singgalang, yang dalam pandanganku dua gunung itu tampak saling bertaut satu sama lain dan mendedahkan tampilan romantis yang begitu anggun.

Hei! Jangan mengada-ada kau! Singgalang itu lebih dekat dengan Tandikek, lebih jelas bagaimana bertautnya ia dengan Singgalang! Bukan Marapi yang sebenarnya mereka berseberangan!”

Nah, kau lagi! Ini perspektif hatiku, bujang! Dan aku melihat keterikatan antara Marapi dan Singgalang itu dari kampungku, Bukittinggi. Lagipula, suka hatiku lah mau melayangkan penilaian dalam bentuk apapun. Aku yang merasakan, aku yang menikmati, dan aku yang menderita!

terserah kaulah!”

Abaikan sisi lain dari diriku dahulu, sekarang mari kita lanjutkan..

Jika ditanya, seberapa besar bahagianya diriku di saat menyadari keberadaanmu? Maka aku dapat tegaskan bahwa itu adalah titik kebahagiaan tertinggiku saat itu. Sungguh! Jika ditanya apakah aku pernah jatuh cinta sebelumnya? Tentu saja pernah. Namun, aku dapat merasakan  betapa berbedanya sosok dirimu yang dalam sekejap mata dapat menjadi seseorang yang bisa menjadi penyangga serta penopang langkahku. Terdengar berlebihan memang, namun begitulah kenyataan yang kurasakan. Bisa kukatakan, kau adalah segalanya.

Namun, suasana yang demikian tidaklah berlangsung lama. Hati yang semula menginginkan agar kau tetap ada di dalam hidupku, harus terpasrahkan dengan kenyataan bahwa kau lebih memilih untuk pergi dan dengan tanpa isyarat bahwa akan kembali lagi. Padahal, kepergianmu serupa dengan muda-mudi yang memutuskan pergi meninggalkan kekasih hatinya  untuk barang sesaat dan kemudian kembali lagi dengan segenap kekuatan hati serta ketangguhan cinta.

Itu juga karena kesalahan kau juga, bujang! Siapa suruh bertindak macam bocah, berlaku seperti orang yang tidak akan pernah dewasa. Siapapun akan pergi menjauh! Bahkan, akupun ingin meninggalkanmu saat itu! Tetapi apalah daya,itu sangatlah mustahil! Karena aku itu, kau juga!”

Iya, benar sekali! Kau benar bujang! Namun, apakah mungkin hanya dengan begitu saja ia pergi meninggalkanku? Bukankah cinta itu seharusnya menerima diriku apa adanya? Sungguh egois rasanya jika semuanya dibebani kepadaku, padahal aku sama sekali tidak melakukan kesalahan yang besar!

Nah, macam itu sajalah hidup kau terus, bujang! Mengakui satu kesalahan, dan kemudian melakukan segudang pembelaan agar kesalahan kau itu dibenarkan. Kalau kau mau merenung sedikit lebih lama saja, kau sebenarnya bisa mempertahankannya dan bahkan bisa kau jadikan ia sebagai teman hidup kau! Menjadi ibu dari anak-anak kau dan menjadi alasan kuat bagi kau untuk melangkah menuju surga yang dijanjikan!”

Eh tapi...

Sekarang kau diam! Dengarkan aku baik-baik! Kita ini memang memiliki hasrat serta keinginan. Ada cinta yang diperjuangkan dan kitapun berhak diperjuangkan atas nama cinta. Namun, kita juga harus menyadari bahwa hidup ini perlu pergerakan yang signifikan. Ada hal-hal baik harus ditanamkan, agar apa yang diinginkan bisa dicapai dan dipertahankan. Jika senantiasa sibuk membanggakan cinta, mencari pihak yang dipersalahkan saat merasa terlukai, maka akan selamanya hidup kita berada di dalam kenistaan dan percayalah,tidak akan ada keinginan yang tercapai!”

Nah, tidakkah kau dengar semua itu, puan? Lagi-lagi aku menjadi pihak yang tersalahkan. Eh, memang patut dipersalahkan sebenarnya.

Memang benar apa yang ditegaskan oleh Datuk Tan Malaka, penggunaan logika dan dialektika itu sangatlah perlu untuk kehidupan ini.Termasuk dalam penggunaanya untuk memikirkan tentang bagaimana kebenaran cinta yang sesungguhnya. Tidaklah heran, sisi lain dari diriku memahami cinta itu sebagai sebuah kebenaran yang lahir dari pergumulan antara logika dan dialektika.

Satu hal yang masih ingin dipertegas kepadaku, puan. Apakah akan ada kesempatan emas untuk pertemuan kita? Apakah kita akan diizinkan untuk mewujudkan keinginan serta cita-cita yang pernah kita rancang dahulunya? Aku masih berharap, puan!


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer